USAHA tidak pernah mengkhianati HASIL
Hai…
Saya ingin bercerita tentang perjuangan saya untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN) impian saya. Saya berharap cerita ini dapat terus memotivasi diri saya sendiri, dan mungkin juga teman-teman di luar sana.
Dulu, saya melanjutkan sekolah menengah atas di pesantren dan mengambil jurusan IPA. Saat saya naik ke kelas XII, saya mulai menentukan langkah selanjutnya, yaitu memilih jurusan dan universitas. Setelah mempertimbangkan bersama keluarga, akhirnya saya memilih jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Saat itu, ayah saya sedang sakit di rumah, dan beliau menyetujui keputusan saya karena di UTM juga ada kakak saya yang sudah semester enam.
Singkat cerita, saya mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Namun, karena keterbatasan alat komunikasi di pesantren, saya baru mengetahui bahwa saya tidak lulus SNBP. Saya menangis, merasa gagal, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Beberapa minggu kemudian, saya dipanggil oleh pengurus sekolah karena keluarga saya menjemput saya pulang—ayah saya kondisinya semakin memburuk dan kakak saya mengalami kecelakaan. Saya pasrah, entah apa lagi cobaan yang akan saya hadapi. Seakan memahami kondisi saya, pengurus dan keluarga kiai mengizinkan saya pulang beberapa hari. Seminggu kemudian, ayah saya meninggal dunia. Hancur rasanya, saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Saya mulai berpikir, bagaimana saya bisa melanjutkan pendidikan tanpa ayah dan tanpa biaya?
Keluarga saya menyarankan agar saya tidak melanjutkan kuliah dan tetap di rumah menemani ibu. Meskipun ibu tidak memaksa, saya memilih untuk memenuhi keinginan keluarga. Dalam hati saya berkata, "Sudahlah, mungkin ini jalan saya. Paling tidak saya sudah berusaha. Saya tidak akan menyesal dengan keputusan ini. Justru saya akan lebih menyesal jika tidak sempat berjuang."
Kemudian, guru-guru saya dari SMA datang bersama teman-teman organisasi saya yaitu organisasi Majelis Perwakilan Kelas (MPK). Saat itu, guru saya mengenali kakak saya yang ternyata juga pernah menjadi murid mereka. Mereka bertanya apakah kakak saya sudah bekerja, dan kakak saya menjelaskan bahwa ia sedang kuliah di UTM. Guru saya lalu berkata, "Oh iya, Ika juga mau kuliah di UTM, kan?"
Saya menjawab, "Tidak, Pak. Saya di rumah saja menemani ibu."
Seakan memahami kondisi saya, guru tersebut berkata kepada ibu saya, "Bu, Ibu ibunya Ika, kan?"
"Iya, Bapak," jawab ibu saya.
"Ayo Bu, dukung anaknya jika memang ingin melanjutkan pendidikan."
Ibu saya menoleh ke arah saya dan berkata, "Kalau saya, selalu mendukung, Pak. Karena memang almarhum sangat ingin anak-anaknya menempuh pendidikan setinggi mungkin. Tapi, saya tidak mampu membiayainya, apalagi sekarang sudah tidak ada almarhum. Kakaknya saja bisa kuliah karena mendapat beasiswa," ucap ibu lirih.
Guru saya pun berkata, "Iya Bu, coba saja dulu. Siapa tahu Ika juga mendapat beasiswa. Sayang kalau tidak dilanjutkan, nilainya bagus dan dia punya potensi."
Akhirnya, setelah berdiskusi dengan keluarga besar, saya diizinkan mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT), dengan syarat: jika tidak mendapatkan beasiswa, saya harus merelakan impian saya.
Saya kembali berjuang, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kedua. Pada bulan Mei 2023, saya berangkat mengikuti UTBK dari pesantren, tanpa keluarga dan tanpa alat komunikasi.
Alhamdulillah, saya dinyatakan lolos SNBT. Namun, saya masih harus menunggu pengumuman beasiswa dengan rasa cemas dan takut.
Alhamdulillah, dengan doa orang tua dan usaha yang keras, saya akhirnya diterima sebagai penerima beasiswa.
Saya bangga, karena saya sudah berjuang dan memilih untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Bagi kalian yang sedang memperjuangkan impian, ingatlah—teruslah berusaha, karena usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Terima kasih untuk diri saya yang sudah bertahan sejauh ini.
#157_Ika Alyatur Rofiah
Yok bisa yok
BalasHapus🫶🫶
BalasHapus🫶🫶
BalasHapus🫶💪
BalasHapus